Source: http://germo-ndeso.blogspot.co.id/2012/02/cara-membuat-tanggal-posting-blog.html#ixzz4ObErovl4
Bulan ramadhan menjadi berkah tersendiri bagi penjual sekaligus pembuat Inuyu atau yang biasa di kenal dengan nasi bambu. Makanan ini menjadi laris saat bulan ramadhan bahkan jelang hari raya keagaaman di Poso Sulawesi Tengah seperti hari raya idul fitri, hari raya natal dan tahun baru.
Proses pembakaran inuyu atau nasi bambu. (Foto: Aldi)
Inuyu ini merupakan salah satu makanan khas yang paling dicari selain karena rasanya yang khas, juga karena cara masaknya yang terbilang unik.
Letak keunikan makanan yang satu ini terdapat pada proses masaknya dengan menggunakan bambu yang diisi beras ketan dicampur dengan santan yang sebelumnya telah dirempahi. Inuyu sendiri di beberapa daerah di pulau Sulawesi, memiliki nama yang berbeda. Hanya saja yang paling dikenal dengan sebutan nasi bambu. Nama lainnya inuyu adalah nasi jaha. Disebut nasi jaha karena salah satu rempah yang mencolok adalah jahe namun karena terpengaruh dengan dialeg masyarakat setempat jadilah disebut nasi jaha.
“Kalau kita sebutnya nasi bambu karena nasinya diisi ke dalam bambu di tambah ada campuran jahenya. Makanya biasa disebut nasi bambu atau nasi jaha.” Ungkap hadija
Seperti di tahun-tahun sebelumnya, saat bulan ramadhan dan pada perayaan hari besar dan hari raya keagamaan, pembuat dan penjual inuyu sering mendapatkan pemesanan lebih dari hari biasanya. Seperti halnya yang dirasakan Hadija pembuat dan penjual nasi bambu ini mengaku kalau di bulan Ramadhan pesanan mulai meningkat. Kalau di hari biasa Hadija hanya menunggu pesanan dulu baru memasaknya, tetapi di bulan Ramadhan ini dirinya bersama anak-anaknya memasak 30 ruas bambu bahkan lebih dalam sehari.
“Di bulan ramadhan ini kami sering mendapat pesanan tidak saja dari Poso tapi juga di luar Poso seperti Kota Palu, Gorontalo, Makassar, bahkan sampai di Jakarta. Ujar Hadija
1 Kilogram Beras Ketan diukur untuk dua ruas bambu. Pembuatannya pun memakan waktu cukup lama tergantung banyaknya pesanan. Jika pesanan mencapai ratusan bambu, Hadija bersama keluarganya harus mempersiapkan selama dua hari. Satu hari untuk peracikan bumbunya dan persiapkan bahan baku lainnya, dan hari berikutnya untuk proses pembakaran.
Senin (27/06/2016) pagi ini Hadija menadapatkan 10 pesanan nasi bambu. Dalam memasak nasi bambu ini. Hadija dibantu oleh anggota keluarga lainnya yang masing-masing memiliki tugas. Sejak pukul 7 pagi dirinya mulai mempersiapkan bumbu seperti pemerasan santan yang telah dirempahi, dan mencuci beras ketan yang akan di masak. Sementara yang lainnya bertugas untuk mempersiapkan bambu yang akan di pakai untuk wadahnya.
Setelah semuanya siap, barulah berasnya diisi ke dalam bambu yang sebelumnya telah di lapisi daun pisang. Kemudian santan yang telah dicampur dengan rempah seperti jahe dan lainnya di masukkan ke dalam bambu tersebut.
Alwi salah satu keluarga hadija, bertugas untuk mempersiapkan api. Nah pada proses pembakaran ini memakan waktu 1 sampai 2 jam untuk sepuluh ruas bambu. Agar masaknya merata, sesekali bambunya harus di putar putar. Proses ini cukup sulit karena harus menahan panasnya api yang membakar bambunya. Sebagai alat bantu, Alwi memakai sebuah penjepit yang juga terbuat dari bambu agar tangannya tidak terbakar.
“Yang perlu teknis khusus dalam memasak nasi bambu ini adalah proses membakarnya. Karena kalau orang yang tidak tahu matangnya jadi tidak merata. Dan harus sabar memang karena panasnya api membakar” ungkap Alwi.
Satu ruas nasi bambu ini dijual dengan harga 20 ribu rupiah untuk beras ketan putih. Sementara untuk beras ketan hitam dijual dengan harga 25 ribu rupiah. Dengan dimasak dengan cara tradisional ini, nasi bambu miliki hadija ini dapat bertahan hingga dua hari. Setiap harinya Hadija menjajakan nasi bambu di salah satu sisi jalan trans Sulawesi kelurahan Moengko Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Di tempat penjualannya itu juga menjadi tempat pembuatan inuyu.